PHRI

PHRI Ingatkan Dampak Ekonomi Raperda KTR bagi Pariwisata Jakarta

PHRI Ingatkan Dampak Ekonomi Raperda KTR bagi Pariwisata Jakarta
PHRI Ingatkan Dampak Ekonomi Raperda KTR bagi Pariwisata Jakarta

JAKARTA - Rencana penerapan Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) di DKI Jakarta menimbulkan kekhawatiran dari kalangan pelaku usaha pariwisata. 

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai kebijakan tersebut berpotensi menambah beban baru bagi industri perhotelan dan restoran yang saat ini masih berjuang bangkit pascapenurunan kinerja sepanjang tahun 2025.

Ketua Badan Pimpinan Daerah (BPD) PHRI DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, menyebutkan kondisi sektor pariwisata, khususnya perhotelan dan restoran, sedang berada dalam situasi yang sulit. Dengan adanya rencana pemberlakuan KTR, ia khawatir tekanan yang dialami pelaku usaha akan semakin berat.

“Pada akhirnya pasti timbul masalah-masalah sosial, daya beli masyarakat yang turun, pajak juga turun,” ujar Sutrisno dalam keterangan resmi.

Industri Perhotelan dan Restoran Masih Lesu

Menurut Sutrisno, sepanjang 2025, sebanyak 96,7 persen hotel di Jakarta melaporkan penurunan tingkat hunian. Banyak pengusaha terpaksa mengambil langkah efisiensi, mulai dari pemangkasan biaya hingga pengurangan karyawan.

Padahal, sektor hotel dan restoran merupakan salah satu penopang penting perekonomian ibu kota. Data PHRI mencatat, industri ini mampu menyerap lebih dari 603.000 tenaga kerja dan menyumbang sekitar 13 persen Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta.

“Kalau aturan diberlakukan tanpa mempertimbangkan kondisi riil di lapangan, beban pelaku usaha akan semakin berat. Padahal, kami ini salah satu sektor yang berkontribusi besar bagi PAD dan membuka lapangan pekerjaan,” tegas Sutrisno.

Seruan PHRI untuk Dialog Terbuka

PHRI menekankan pentingnya dialog antara asosiasi pelaku usaha dengan pemerintah dan DPRD DKI Jakarta. Sutrisno menegaskan bahwa pihaknya tidak menolak kebijakan kesehatan masyarakat, namun berharap aturan bisa diimplementasikan dengan mempertimbangkan dampak ekonomi.

“Kami masih menginginkan dialog yang baik, diskusi antara asosiasi pelaku usaha dengan pemerintah dan stakeholder lain supaya bisa menemukan jalan yang terbaik. Harapan kami, legislatif maupun eksekutif membuka diri, membuka pintu untuk dialog,” ucapnya.

Sikap Pemprov DKI: Draft Masih Dinamis

Menanggapi masukan dari pelaku usaha, perwakilan Pemprov DKI Jakarta, Afifi, selaku Ketua Sub Kelompok Peraturan Perundang-undangan Bidang Kesehatan Rakyat Biro Hukum, menyatakan bahwa pemerintah tetap memperhatikan aspirasi masyarakat.

“Draft Raperda ini masih terbuka dan dinamis. Setelah selesai pembahasan di Pansus, akan kami sampaikan ke Pak Gubernur. Kalau memungkinkan akan di-rapimkan supaya masukan dari semua pihak bisa diserap,” ujar Afifi.

Pernyataan tersebut memberi ruang harapan bagi sektor pariwisata agar kepentingan mereka bisa menjadi pertimbangan dalam perumusan final kebijakan.

Aturan Baru dalam Raperda KTR

Berdasarkan informasi yang beredar, Raperda KTR yang kini difinalisasi Panitia Khusus (Pansus) DPRD DKI Jakarta memuat sejumlah ketentuan baru yang lebih ketat dibanding aturan sebelumnya. Beberapa poin penting yang menjadi sorotan antara lain:

Larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak.

Perluasan kawasan tanpa rokok ke pasar tradisional, pasar modern, hingga pusat perbelanjaan.

Larangan penjualan rokok eceran yang dinilai bisa mempersulit konsumen dengan daya beli terbatas.

Kewajiban izin khusus bagi pedagang yang ingin menjual rokok.

Perluasan kawasan tanpa rokok ke tempat hiburan, termasuk hotel, restoran, kafe, bar, dan lokasi pertunjukan musik.

Aturan ini dinilai PHRI akan berpengaruh signifikan terhadap pola konsumsi dan kunjungan wisatawan, terutama di sektor hiburan dan perhotelan.

Potensi Dampak Sosial dan Ekonomi

Menurut Sutrisno, jika aturan tersebut diberlakukan tanpa kajian matang, dampaknya tidak hanya akan dirasakan pelaku usaha, tetapi juga pekerja dan masyarakat luas. Menurunnya daya beli masyarakat serta berkurangnya pendapatan dari sektor hiburan bisa membuat pajak daerah ikut turun.

“Kalau pendapatan usaha tertekan, maka setoran pajak juga otomatis turun. Padahal, sektor hotel dan restoran ini salah satu penyumbang utama bagi PAD DKI,” ungkap Sutrisno.

Ia menambahkan, peraturan yang terlalu ketat juga bisa menimbulkan masalah sosial baru. Salah satunya adalah potensi meningkatnya praktik penjualan ilegal atau tidak resmi di luar pengawasan pemerintah.

Jalan Tengah yang Diharapkan

PHRI menegaskan, pihaknya mendukung program kesehatan masyarakat, termasuk upaya menekan angka perokok di Jakarta. Namun, mereka meminta agar pemerintah mempertimbangkan jalan tengah yang tidak mematikan sektor usaha.

“Kebijakan zero tolerance terhadap rokok bisa dilakukan bertahap, dengan memperhatikan kondisi industri. Jangan sampai kebijakan ini justru mengorbankan tenaga kerja dan pelaku usaha yang saat ini sudah berjuang keras,” pungkas Sutrisno.

Penutup

Perdebatan soal Raperda KTR memperlihatkan tarik ulur antara kepentingan kesehatan publik dan kepentingan ekonomi. Di satu sisi, kebijakan ini diharapkan mampu melindungi masyarakat, khususnya generasi muda, dari dampak buruk rokok. 

Namun, di sisi lain, sektor pariwisata yang tengah terpuruk merasa perlu dilibatkan dalam perumusan kebijakan agar keberlangsungan usaha dan tenaga kerja tetap terjaga.

Dialog antara pemerintah, DPRD, dan pelaku usaha menjadi kunci untuk menemukan solusi terbaik. Dengan demikian, penerapan kawasan tanpa rokok bisa berjalan efektif tanpa harus mengorbankan stabilitas ekonomi Jakarta yang sebagian besar ditopang oleh sektor pariwisata.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index